Berita Terbaru :

Festival Musik tongklek

RISKI SOLAHUDIN, 6, yang berada di barisan terdepan grup Anak Soleh (AS) terlihat serius mengomando ketukan tongklek grupnya. Sekali dia memukul kentongan bambunya, sepuluh temannya yang berbaris di belakangnya menyahut dengan pukulan rampak. Hanya, irama ketukannya berbeda. Semakin ke belakang, kentongan yang ditabuh anggota grup ini makin rampak.
Irama musik tongklek yang dimainkan peserta bernomor lima itu sangat selaras. Warna musik tradisional tongklek grup itu sangat kental. Tak ada alat musik tambahan dalam grup tongklek asal Perum Siwalan Permai, Desa Kembangbilo, Kecamatan Tuban, itu. Sunaryo, pimpinan grup AS, menyatakan, tidak hanya tahun ini anak asuhnya mengikuti festival tongklek. Tahun lalu, even yang sama juga diikutinya. Peserta yang diturunkan selalu anak-anak berumur 6-12 tahun.
”Saya ingin tetap menjaga tradisi bahwa tongklek adalah musik pembangun waktu sahur yang peralatannya tetap tradisional,” kata karyawan Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya (Disparsenibud) Tuban itu. Pertimbangan dia melibatkan anak-anak adalah agar generasi termuda tidak melupakan tongklek.
Sebelum mengikuti festival, Sunaryo harus menyiapkan waktu dua pekan untuk menyelaraskan nada kentongan yang ditabuh. Menurut pria yang juga Ketua RT 1/7 Perumahan Siwalan Permai itu, tak sulit membentuk sebuah grup tongklek yang kompak. Terlebih, seluruh anak asuhnya begitu bersemangat setiap kali diajak mengikuti festival.
Grup tongklek dari Musala Asa’adah, Kelurahan Kingking, Kecamatan Tuban tak beda jauh. Peserta bernomor delapan ini seluruh anggotanya anak-anak berumur 7-14 tahun. Selain kentongan sebagai alat musik utama, Eko Nasikin, pimpinan grup ini, menyelaraskan dengan barang-barang dapur yang bisa menimbulkan bunyi. Seperti galon, botol, dan tutup panci. Karena itulah, suara tetabuhan yang dihasilkan grup tongklek ini lebih variatif.
”Tradisional tidak harus selalu kentongan. Selama alat yang ditabuh mudah didapat di sekitar kita, itu tetap tradisional,” kata Eko.
Memang, tidak semua grup mengusung peranti tradisional. Grup tongklek Kambang Putih pimpinan Solikan, misalnya, membawa peranti musik drum band. Seperti senar drum, bass drum, simbal, dan terompet, kuarto. Alat musik inilah yang mengiringi lima kentongan yang ditabuh anggota grup bernomor satu ini.
Saat dimainkan, suara alat musik drum band memang lebih mendominasi karena lebih keras. Suara kentongan yang ditabuh justru hanya memberi warna.
Solikan menyatakan, kentongan sebagai musik yang membangunkan orang untuk sahur tidak harus selalu kentongan. Era kemajuan ikut memberi andil memodifikasi peranti musiknya. ”Substansi tongklek adalah membangunkan orang untuk sahur, bukan alat musiknya. Karena itu, sah-sah saja kalau dipadukan dengan alat musik tradisional,” katanya.
Untuk menyiapkan personel dari anggotanya, grup drum band Kambang Putih, Solikan mengaku butuh waktu berlatih selama sepekan. Meski warna musik berbeda, panitia tetap mewajibkan tiap peserta melantunkan salawat saat dilepas dari garis start dan memasuki finish.
Katib Syuriah PCNU Tuban Achmad Mundzir saat melepas peserta festival menyatakan, festival tongklek merupakan bagian dari tradisi umat Islam. ”Tradisi inilah yang harus kita lestarikan sepanjang waktu,” katanya.
Di balik festival yang diikuti sekitar 136 grup tongklek tersebut Mundzir menyatakan ada pesan moral terkait ukhuwah islamiah. Dari kantor PCNU Tuban di Jalan Diponegoro, peserta berjalan menyusuri Jalan Basuki Rahmat, Pemuda, dan Panglima Sudirman. (*) Festival Musik tongklek Rating: 5.0 Reviewer: Author ItemReviewed: Festival Musik tongklek

0 comments:

Posting Komentar

Facebook  Twitter  Google+  RSS Feed

Masukkan Email Anda:

Delivered by FeedBurner

 

© Copyright Blog Toger Indonesia 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.