Berita Terbaru :

Upacara Mahesa LAwung

Mendoakan Negara di Krendowahono
Hutan Krendowahono sering menjadi tempat merenung para raja ketika menghadapi masalah pemerintahan. Terutama yang berkaitan dengan perilaku rakyatnya. Ferdinand
ASAP dupa membubung tinggi di situs Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Senin (12/4). Menebar semerbak aroma wangi kemenyan. Di bawah kerindangan pohon grasak berusia ratusan tahun, puluhan orang duduk takzim. Pakaian mereka seragam, baju beskap putih, blangkon dan kain batik berwarna cokelat muda. Selembar samir berwarna kuning emas berbingkai merah melingkar di leher.
Mereka menghadap sebuah altar batu, tempat sesajen aneka rupa diletakkan.
Ada ayam panggang, nasi putih, pisang, kelapa muda, kepala kerbau, dan tidak ketinggalan bunga tujuh rupa serta bunga matahari yang dibentuk, menyerupai orang. Seiring dengan asap kemenyan yang semakin tebal, mulut mereka berkomatkamit memanjatkan permohonan. Seorang di antara mereka bertindak sebagai pemimpin, yang lain menyambut lantunan doa dengan kata rahayu.
Seusai melantunkan doa, mereka berpindah tempat. Sembari mengusung kepala kerbau ke bawah salah satu pohon besar yang berada tidak jauh dari altar. Di tempat itu, kepala kerbau berselubung kain putih berikut keempat kakinya dikubur.
Orang-orang itu adalah para abdi dalem dan kerabat Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Mereka sengaja hadir di Hutan Krendowahono itu untuk melakukan upacara Mahesa Lawung, sebuah ritual yang rutin dilakukan setiap tahun pada bulan bakda maulud. "Upacara ini merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur," jelas juru bicara Keraton Surakarta, KRT Bambang Pradotonagoro.
Karena menurut sejarahnya lokasi tersebut merupakan salah satu tempat favorit raja-raja Keraton Surakarta untuk mengasah ketajaman mata batin dan mencari ketenangan hidup. .ini, dulunya kerap dipakai sebagai tempat pertemuan antara Paku Buwono VI dan Pangeran Diponegoro untuk membicarakan gerakan dan perlawanan terhadap Belanda.
Pembicaraan di antara dua tokoh yang memiliki pengaruh besar itu biasa.dilakukan di sebuah tempat bernama Selo Gilang yang berarti batu mengilap.
Letaknya sekitar 10 meter di arah belakang pohon grasak, tempat sesajen dihaturkan. Agar Belanda tidak curiga, pertemuan itu dibungkus dengan kegJ ialan tradisi berupa pemberian sesajen kepada Eyang Betari.
"Jadi, bisa dikatakan dulu ritual ini sebagai kamuflase terhadap Belanda. Karena saat itu segala gerak-gerik raja, apalagi yang dinilai tidak memihak, diawasi dengan ketat," tambah Bambang.
Tradisi melakukan pertemuan dengan cara berbungkus ritual ini kemudian-diteruskan oleh generasi pemegang tam1 puk pemerintahan Keraton Kasunanan Surakarta hingga kini.
Semangat yang diusung tetap sama, yakni nasionalisme. "Sekarang ritual ini lebih bersifat sebagai bentuk permohonan dan doa agar negara ini senantiasa aman, damai, makmur, dan sejahtera," pungkas Bambang.(N-4)ferdinan@mediaindonesia.com
Tempat ini sering pula menjadi tempat merenung para raja ketika menghadapi masalah pemerintahan. Terutama yang berkaitan dengan perilaku rakyatnya.
"Waktu Sinuhun Paku Buwono X menghadapi kondisi rakyatnya yang tidak mau akur, beliau bersemedi di sini. Sepulangnya dari sini, persoalan itu pun teratasi. Rakyatnya bisa hidup rukun dan saling asih," kata Mbah Lurah Wiryono, juru kunci tempat itu menambahkan.
Terlepas dari kepercayaan tersebut, Bambang menilai keberadaan situs di tengah Hutan Krendowahono yang masih terpelihara keasliannya ini memang memiliki keterkaitan cukup erat dengan semangat kebangsaan.
Tempat yang dipercaya sebagai petila-san tokoh wanita bernama Eyang Betari
Sumber: bataviase.co.i
Upacara Mahesa LAwung Rating: 5.0 Reviewer: Author ItemReviewed: Upacara Mahesa LAwung

0 comments:

Posting Komentar

Facebook  Twitter  Google+  RSS Feed

Masukkan Email Anda:

Delivered by FeedBurner

 

© Copyright Blog Toger Indonesia 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.